Tuesday, July 27, 2010

Alternatif PA : Force Distribution & Forced Rank

Di dalam praktek penilaian kinerja, masih banyak yang mempersepsikan bahwa forced distribution dan forced ranking adalah hal yang sama. Pada kenyataannya hal tersebut adalah berbeda. Berikut adalah sari pemahaman yang diambil dari Dick Grote dalam bukunya Forced Ranking; Making Performance Management Work.

Kedua metode, forced distribution dan forced ranking, digunakan dalam suatu kondisi dimana proses penilaian tidak berjalan dengan obyektif, sehingga terjadi inflasi penilaian dimana hampir seluruh pegawai mendapatkan nilai yang tinggi. Dalam kondisi demikian, organisasi perlu menerapkan “alat” yang dapat digunakan untuk melakukan kategorisasi kinerja pegawai mengingat nilai kinerja dapat digunakan sebagai dasar proses pengelolaan pegawai lainnya.
Forced Distribusi atau terjemahan bebasnya distribusi paksa adalah suatu distribusi yang disepakati oleh organisasi untuk diterapkan pada suatu populasi, dalam hal ini untuk penilaian kinerja, untuk tujuan menyusun kategorisasi kinerja pegawai. Dengan menggunakan distribusi yang telah ditetapkan sebelumnya, penilai akan memiliki pedoman kuantitas pegawai yang akan mendapatkan nilai tertentu dibandingkan dengan jumlah pegawai dalam populasi.

Distribusi paksa adalah merupakan penilaian yang berdasarkan perbandingan absolut (absolut comparisons) antara standar yang ditetapkan dengan hasil kinerja pegawai. Dengan demikian penilai akan melakukan penilaian hasil kinerja pegawai dengan kriteria yang sudah dijadikan standar. Contoh dari distribusi yang umumnya digunakan adalah:
  • Distinguished 5%
  • Superior 20%
  • Good Solid Performer 50%
  • Needs Improvement 20%
  • Unsatisfactory 5%

Terdapat dua permasalahan utama yang dikemukakan oleh Grote dalam penerapan distribusi ini, pertama, distribusi yang diterapkan kurang memiliki fleksibilitas. Dalam suatu kasus dalam suatu populasi yang jumlah pegawainya 100, maka penilai tidak akan dapat memberikan nilai distinguished lebih dari 5 pegawai. Dalam penerapan distribusi di atas, yang merupakan mirroring dari bell curve, permasalahan yang terjadi adalah penilaian manusia tidak selamanya selalu sama dengan bell curve. Pertama, karena kurva ini hanya dapat diterapkan kepada populasi dengan jumlah tertentu, dan yang kedua agar implementasinnya valid maka distribusinya harus dilakukan secara acak.

Padahal propulasi pegawai tidak dapat diacak misalnya penerimaan, promosi atau pengembangan pegawai dilakukan setiap kandidat yang ke 14, tetapi dilakukan secara masing-masing individu.
Untuk mengimplementasikan konsep forced distribution, Grote menyarankan adanya fleksibilitas dalam penilaian kinerja, sehingga distribusi yang ditawarkan tidak diterapkan secara rigid tetapi melalui fleksibilitas tertentu, yaitu:
  • Distinguished 5% maximum
  • Superior 20 - 30%
  • Good Solid Performer 50 - 60%
  • Needs Improvement 10 - 15%
  • Unsatisfactory 2 - 5%
Mengapa angka 2% disarankan, ini adalah untuk menjaga tingkat turnover pegawai dalam suatu rate tertentu setiap tahunnya.

Forced ranking adalah konsep penilaian yang menggunakan proses meranking dari seluruh pegawai dalam populasi. Berbeda dengan forced distribution yang absolut, forced ranking merupakan penilaian relatif antara satu pegawai dengan pegawai yang lainnya (person to person evaluation). Mekanisme yang dilakukan adalah melakukan perbandingan terhadap seluruh pegawai di suatu unit kerja untuk diperoleh ranking pegawai.

Kemudian ranking tersebut dikelompokkan sesuai dengan skim yang ditetapkan misalnya Top 20%, Vital 70% dan Bottom 10%, sehingga apabila total jumlah pegawai adalah 100, maka akan diperoleh 20 pegawai yang dikategorikan sebagai Top, 70 orang yang dikategorikan sebagai pegawai vital dan 10 pegawai yang dikategorikan sebagai bottom.

Kedua metode sama baiknya sepanjang diterapkan secara konsisten dan filosofinya dipahami oleh pengguna. Implementasi salah satu metode ini tetap akan membawa resistensi yang dapat disebabkan oleh banyak hal. Satu hal yang paling terpenting untuk mendukung governance pelaksanaan adalah pengguna, atau pimpinan satuan kerja. Sistem dan metode hanya sebuah alat, implementasinya dikembalikan lagi kepada pengguna.


Sumber: http://Rudisule.blogspot.com

Thursday, June 17, 2010

Performance Appraisal Cycle

Performance appraisal doesn't start with the form, it starts with the jobplanning what needs to be done and figuring out how it will be accomplished.

Dick Grote, wrote in his book, The Complete Guide to Performance Appraissal, that there is an ideal cycle. He wrote that, the ideal performance appraisal cycle is thus a five-phase process, beginning after the organization has established its corporate strategy and overall direction.


Phase I: Performance Planning
The appraiser and appraisee meet to plan the upcoming year. In their discussion(s) they come to agreement about five major areas:
  1. The key accountabilities of the subordinate's jobthe major areas within which the subordinate is responsible for getting results
  2. The specific objectives the subordinate will achieve within each accountability area
  3. The standards that will be used to evaluate how well the subordinate has achieved each objective
  4. The performance factors, competencies, or behaviors that will be critical in determining how the results will be achieved
  5. The elements of the development plan the subordinate will complete during the year

Phase II: Performance Execution
Over the course of the year the subordinate executes the plan agreed to in Phase I. During this time the supervisor is responsible for ongoing feedback and coaching. Elements of the plan that become obsolete are abandoned by mutual agreement; new objectives to respond to changing conditions are established.


Phase III: Performance Assessment
Appraiser and appraisee independently evaluate the degree to which the different elements of the plan were achieved. The manager completes an assessment of the subordinate's performance (the classic performance appraisal report card) and typically has it reviewed and approved by senior management and human resources personnel before discussing it with the subordinate. In an ideal system, the subordinate also completes a self-assessment, collecting data, if necessary, from customers, peers, subordinates, and others.

The subordinate may submit the self-appraisal to the manager to be used as part of the manager's overall assessment, or the manager and the subordinate may review each other's appraisal of the subordinate's performance concurrently as part of the Phase IV discussion.


Phase IV: Performance Review
The appraiser and appraisee meet to review their appraisals. They discuss the results that were achieved and the performance factors that contributed to their accomplishment. Phase III was the creation of the report card; Phase IV is its delivery and discussion. Their discussion includes:

  • Results achieved (what was done)
  • Performance or behavioral effectiveness (how it was done)
  • Overall performance assessment
  • Development progress
At this meeting the appraiser may discuss compensation changes, or this discussion may be held during a separate meeting at a different time. (Chapter 14 focused on the relationship between pay and performance appraisal and the benefits and disadvantages of combining the pay and appraisal discussions.)

Phase V: Performance Renewal and Recontracting
Phase V repeats Phase 1, incorporating the additional data and insights gained during the previous appraisal process. The manager and subordinate revise any of the subordinate's key accountabilities that may have changed over the year and set new objectives and standards for the upcoming appraisal period. Finally, they create updated development goals and action plans.

The performance management cycle that Dick Grote wrotes, reinforces a critical concept: Before even the most preliminary activities that are commonly considered part of the performance appraisal process can be undertaken, the organization must first have its mission clearly defined. If the organization doesn't know where it wants to go, herculean efforts on the part of organization members won't provide direction.